MDR, Jakarta – Perkara hukum yang melibatkan calon dokter spesialis anestesi berinisial PAP, yang dituduh melakukan tindakan pemerkosaan dan pembiusan terhadap FJ—seorang perempuan yang merupakan kerabat pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung—masih menjadi sorotan publik. Meski kedua pihak telah menandatangani kesepakatan damai, proses hukum terhadap PAP tetap berjalan.
Dalam keterangan pers kepada media pada 9 April 2025, kuasa hukum FJ, Dr. ANDRY CHRISTIAN, S.H., S.Kom., M.Th., C.Md., CLA, ASP., ASKC dari MAHANAIM Law Firm, mengungkapkan bahwa perdamaian antara kliennya dan pihak terlapor telah dicapai sejak 23 Maret 2025. Kesepakatan tersebut ditandatangani secara resmi dan disaksikan oleh keluarga korban.
“Pada 23 Maret lalu, baik korban maupun terlapor telah sepakat menyelesaikan perkara ini secara damai, yang telah dituangkan dalam sebuah perjanjian tertulis dan disahkan bersama. Bahkan, korban telah mengajukan pencabutan laporan kepada pihak kepolisian,” ujar Dr. Andry.
Kendati laporan telah dicabut, aparat penegak hukum tetap melanjutkan proses penyidikan. Hal ini disesalkan oleh pihak kuasa hukum korban, mengingat menurut ketentuan hukum yang berlaku, pelaporan dalam kasus semacam ini tergolong delik aduan yang seharusnya tidak dapat diteruskan setelah pengaduan dicabut.
“Dalam Pasal 75 KUHP Baru (UU No. 1 Tahun 2023), sudah sangat jelas bahwa jika korban mencabut laporannya, maka proses hukum terhadap terlapor sepatutnya dihentikan. Terlebih, sudah ada penyelesaian damai yang disepakati oleh kedua belah pihak,” jelasnya.
Lebih lanjut, Dr. Andry menyampaikan bahwa pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) dapat menjadi alternatif penyelesaian yang lebih tepat untuk perkara ini. Menurutnya, pendekatan ini mengedepankan pemulihan bagi korban dan memberikan kesempatan kepada pelaku untuk merenungkan perbuatannya, alih-alih hanya menjalani hukuman secara prosedural.
“Restorative justice tidak berarti membebaskan pelaku dari tanggung jawab, namun merupakan cara menyelesaikan konflik dengan berfokus pada pemulihan bagi korban, serta kesadaran dan pertobatan dari pihak pelaku. Kesepakatan damai yang dicapai juga dilakukan secara sukarela dan tanpa tekanan dari pihak mana pun,” tambahnya.
Bersama rekan tim hukumnya, yakni Asori Moho, S.H., dan Siti Hagariyah, S.H., Dr. Andry menekankan bahwa proses hukum yang terlalu prosedural dan kaku justru bisa memperburuk kondisi mental korban.
“Penegakan hukum semestinya lebih adaptif dan memperhatikan suara serta kondisi korban. Jangan sampai setelah upaya damai ditempuh, korban justru harus kembali mengalami penderitaan karena sistem hukum yang kurang empati. Hukum seharusnya menjadi sarana keadilan sejati, bukan sekadar menjalankan prosedur formal,” tegasnya.
Hingga saat ini, penyidikan terhadap PAP masih berlangsung di Polda Jawa Barat. Tim kuasa hukum korban berharap agar aparat penegak hukum mempertimbangkan penerapan prinsip keadilan restoratif dalam perkara ini demi tercapainya penyelesaian yang adil dan manusiawi, meski keputusan akhir tetap berada di tangan pihak berwenang.